Ritual Kirab Temu Tirta, Tradisi Turun – Temurun Warga Masyarakat Lereng Merapi – Merbabu Satukan Dua Mata Air
Foto : Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Boyolali, Eko Sumardiyanto menyatukan mata air Tirta Wening di Gunung Merbabu dan mata air Tirta Barokah di Gunung Merapi. Senin (8/7/2024)
BOYOLALI – Udara dingin bukan menjadi halangan bagi warga masyarakat Desa Samiran, Kecamatan Selo untuk menggelar ritual yang setiap tahun mereka adakan saat awal bulan Suro atau Muharam, yakni Upacara Temu Tirta. Bertempat di Simpang PB VI Kecamatan Selo, kegiatan tersebut dilaksanakan pada Senin (8/7/2024) malam, dengan dihadiri langsung oleh Ratu Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, GKR Wandansari atau yang lebih akrab disapa dengan Gusti Moeng.
Upacara Temu Tirta tersebut merupakan tradisi warga lereng Merapi – Merbabu setiap tahun sekali menyatukan air dari mata air Tirta Wening di Gunung Merbabu dan mata air Tirta Barokah di Gunung Merapi dengan tujuan agar warga Desa Samiran tidak mengalami kekeringan dan terhindar dari bencana erupsi Merapi.
Usai ritual menyatukan dua mata air oleh Gusti Moeng, bejana yang berisi dua mata air tersebut dikirab keliling kampung oleh Pokoso [Paguyuban Kawula Keraton Surakarta] sejauh tiga kilometer. Arak-arakan kirab barisan paling depan adalah pasukan bregodo dari keraton Kasunanan Surakarta, di susul dengan pembawa air, kemudian dibelakangnya barisan pembawa gunungan, dan yang terakhir adalah baru ibu-ibu dan pemuda pembawa obor.
Ditemui di lokasi, Pangarsa [Pemimpin] Pokoso Kecamatan Selo, Sukarjo Purwocarito menjelaskan, ritual Temu Tirta ini bermula saat masyarakat Desa Samiran pernah mengalami kekurangan air, sehingga tokoh masyarakat desa kala itu menggelar ritual seperti ini dan dilaksanakan secara turun- temurun hingga saat ini.
Dilanjutkan olehnya, arak-arakan gunungan yang dibawa terdiri dari tumpeng nasi jagung atau biasa disebut nasi gunung, kemudian gunungan palawija, gunungan sayur mayur dan gunungan buah-buahan. Sukarjo menyatakan jika hal tersebut merupakan perwujudan rasa syukur kepada Tuhan karena sebagian besar warga Selo adalah petani.
“Semoga saja nanti setelah adanya Kirab Temu Tirta ini nanti air yang muncul dari sumbernya tambah lagi, bisa mencukupi untuk kehidupan warga masyarakat Selo khususnya Desa Samiran.” ungkapnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Boyolali, Eko Sumardiyanto mengatakan, tujuan diadakannya acara ini adalah memperingati malam 1 Suro dan perwujudan rasa syukur kepada Tuhan YME.
“Harapannya adalah untuk melestarikan adat kebiasaan yang sudah ada di Desa Samiran ini, kemudian untuk menjalin persatuan.” ujarnya.
Selain ritual Kirab Temu Tirta, rangkaian acara pada hari itu adalah Festival Reog yang dilaksanakan pada siang hari mulai pukul 13.00 WIB hingga selesai dan Pagelaran Wayang Kulit semalam suntuk yang dimulai usai pemberangkatan kirab tersebut. (Tim Liputan Pemerintah Kabupaten Boyolali)